Pradana Boy ZTF
(Direktur Bait al-Hikmah Foundation)

Saat memutuskan untuk menerima tawaran sebagai peserta kunjungan keagamaan dan akademik ke Maroko, dalam kapasitas sebagai anggota Global Exchange on Religion in Society, sebenarnya saya belum terlalu yakin apakah perjalanan ini benar-benar bisa dilakukan. Setidaknya karena dua alasan: yaitu tentang situasi COVID-19 yang masih menghantui sebagian besar warga dunia; dan waktu kunjungan yang lumayan panjang, kurang lebih 14 hari. Itu bermakna bahwa saya harus meninggalkan pekerjaan dan keluarga dalam waktu dua minggu. Tentu ini merupakan hal yang sangat berat. Namun, dengan izin atasan dan kolega, serta keikhlasan istri dan anak-anak, akhirnya perjalanan ini terjadi.

Dari riset internet, saya mendapatkan informasi bahwa akibat COVID-19, sepertinya cukup kompleks hal yang harus dipenuhi untuk bisa masuk Maroko. Bekal tiga vaksin dan paspor Indonesia, ternyata ampuh untuk bisa melewati imigrasi Maroko dengan tidak terlalu sukar. Paspor Indonesia memiliki keistimewaan. Karena warga negara Indonesia tidak memerlukan visa untuk kunjungan singkat ke Maroko; dan sebaliknya. Petugas imigrasi hanya bertanya hotel di mana saya akan tinggal. Begitu saya jawab, dia kemudian menyerahkan paspor dan berkata dengan hangat: “Welcome to Morocco. Enjoy your stay. Marhaba.”

Dengan nama resmi al-Mamlakah al-Maghribiyyah dalam bahasa Arab atau Royaume du Maroc dalam bahasa Perancis, Maroko atau Maghrib adalah sebuah kerajaan dengan sistem monarki semi-konstitusional yang beribukota di Rabat. Mata uang resminya adalah dirham, yang pada saat kunjungan tersebut, kurs 1 dirham kurang lebih Rp. 1500. Sebagai monarki, Maroko dimpimpin oleh seorang raja; dan yang berkuasa saat ini adalah Muhammad VI.

Fakta bahwa Maroko berada di benua Afrika, membawa saya kepada aneka bayangan. Namun kunjungan selama 2 minggu ini ternyata mampu menghadirkan kejutan-kejutan.

Kota-kota yang Indah

Casablanca, kota terbesar di Maroko dikenal sebagai kota indah Memang sudah sering saya mendengarnya. Mehdi Lalou, sahabat saya, seorang profesor di Universitas Muhammad V Rabat, yang sudah saya kenal kurang lebih empat tahun ini, dalam banyak kesempatan sering bercerita tentang keindahan Casablanca. Namun, tetap saja bayangan tentang Afrika (maaf) selalu lekat dengan keterbelakangan, meskipun seringkali harus dibedakan antara Afrika Selatan dan Utara. Maka saya membayangkan negara ini kurang tertata, tidak bersih atau tertinggal. Bayangan itu seperti mendapatkan pembenarannya begitu mendarat di Bandara Mohammad al-Khamis Casablanca. Meskipun berada di kota terbesar di Maroko, bandara itu terkesan sepi.

Ditambah pula dalam perjalanan dari Casablanca ke Rabat, kurang lebih 1,5 jam, di sepanjang ruas jalan tol yang saya lewati, kesan kumuh bisa ditemukan di mana-mana. Berkali-kali mobil yang saya tumpangi mendahului atau didahului truk-truk pengangkut buah dan sayur yang terlihat kotor dan tak terawat.

Begitu memasuki Rabat, pelan-pelan kesan awal tadi pudar. Di kawasan kota, jalan-jalan lebar tertata rapi dan bersih. Demikian juga hamparan rumput hijau terlihat cantik. Apalagi jika taman-taman rumput itu berada di tepi laut, perpaduan warna biru air laut dan hijau rumput terasa sebagai keindahan yang ikonik. Di hari-hari kerja, terlihat para pekerja menyiram tanaman-tanaman itu di kanan kiri jalan. Tak heran rumput dan taman bunga di berbagai sudut kota itu terlihat segar, rapi dan terawat.

Meskipun banyak berada di ruang seminar, setiap hari kami berkeliling ke berbagai tempat di kota Rabat. Perjalanan dari satu tempat ke tempat berikutnya, pasti melewati berbagai kawasan. Kesan saya, Rabat adalah sebuah kota dengan penataan yang modern. Di berbagai kawasan, perpaduan antara unsur modern dan pemeliharaan warisan masa lalu terlihat sangat harmonis.

Tentu saja di kota manapun di dunia ini tidak ada yang terbebas dari kawasan tidak bersih, begitu pula Rabat. Namun secara umum saya menangkap kesan adanya usaha serius pemerintah kota untuk menata berbagai kawasan agar lebih indah.

Kurang lebih sama, Casablanca juga begitu. Meskipun bukan ibukota, ini adalah kota terbesar dan menghadirkan kejutan berupa Masjid Hassan II. Rakyat Maroko meyakini ini adalah masjid terbesar ketiga di dunia setelah Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi. Setengah bagian masjid ini berdiri di daratan. Sementara setengah lainnya di atas lautan. Menelusuri bagian demi bagian masjid ini hanya akan menjadikan bibir sering berdecak kagum. Keindahan masjid ini sangat memukau. (Ulasan tentang Masjid Hassan II ada di saluran youtube Islam Aktual).

Tak hanya Rabat dan Casablanca, saya juga berkunjung ke kota Ifran. Kota kecil ini sangat cantik, dengan penataan yang khas Eropa. Menurut informasi yang saya peroleh, Ifran memang didesain dengan gaya Swiss. Kecantikan Ifran juga bisa dilihat dari universitas yang ada di kota itu, yakni Universitas al-Akhawayn. Ini adalah sebuah kampus yang sangat indah dan bersih. Nama al-akhawayn berarti dua saudara. Dinamakan demikian karena universitas ini memang wujud dari persaudaraan dari dua kerajaan di dunia Islam, yaitu Kerajaan Arab Saudi dan Kerajaan Maroko. Kebersihan dan keindahan berbagai kota di Maroko Ini adalah kejutan pertama.

Bahasa Perancis dan Arab

Penduduk asli Maroko di masa lalu adalah sepenuhnya berasal dari suku Amazigh atau yang lebih banyak dikenal sebagai Berber. Namun dengan penaklukan yang dilakukan oleh Dinasti Umayyah dari tanah Arab, maka proses percampuran terjadi. Dalam masa modern, Perancis dan Spanyol datang untuk menjajah Maroko dan proses asimilasi juga terjadi. Maka penduduk Maroko masa kini setidaknya terdiri dari Suku Amazigh asli, campuran Arab dan Amazigh atau campuran Amazigh dan Eropa.

Kita semua tahu, Bangsa Arab menguasai Maghrib. Maka pengaruh Bangsa Arab demikian luas, termasuk menjadikan Islam sebagai agama dengan penganut terbesar di Maroko dan bahasa Arab sebagai bahasa nasional. Meskipun demikian, jika Anda tidak bisa berbahasa Arab, jangan khawatir, Anda masih akan tetap survived di Maroko, selama bisa berbahasa Perancis. Ini kejutan kedua.

Saya menyangka di forum-forum ilmiah dan keagamaan, bahasa pengantarnya adalah Arab. Nyatanya tidak. Bahasa Perancis lebih mendominasi kegiatan-kegiatan formal, sementara bahasa Arab lebih banyak dijadikan sebagai bahasa pergaulan. Karena bekas jajahan Perancis, hampir semua penduduk Maroko bisa berbahasa Perancis dengan lancar.

Dalam kunjungan ini, saya juga berkesempatan menghadiri konferensi yang diselenggarakan oleh sebuah organisasi yang bernama Muhammadiyah atau tepatnya al-Rabithah al-Muhammadiyah li al-Ulama. Sekali lagi, saya menyangka dalam konferensi dengan tema agama, yang diselenggarakan oleh organisasi agama di Maroko, akan menggunakan bahasa Arab. Tetapi ternyata bahasa Perancis yang digunakan. Dalam konferensi itu, persentase bahasa Arab hanya sekitar 5 persen.

Tak hanya forum-forum resmi, papan nama dan aneka pengumuman untuk publik, seperti penunjuk arah di jalan atau aneka dokumen, juga menggunakan bahasa Arab dan Perancis. Di sebagian kawasan, ada papan-papan nama yang menggunakan bahasa Amazigh, bahasa suku asli Maroko, dengan huruf Amazigh. Melihat situasi seperti ini, maka saya menyarankan bagi pelajar-pelajar Indonesia yang berminat studi di Maroko, hendaknya tidak hanya menyiapkan kemampuan bahasa Arab saja, tetapi juga bahasa Perancis.

Kedekatan Maroko dan Indonesia

Clifford Geertz, antropolog Amerika yang begitu ternama di Indonesia, menulis sebuah buku tentang Islam di Maroko dan Indonesia berjudul Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia. Analisis-analisis ilmiahnya tentu terlalu rumit untuk dibahas di ruang pendek ini. Tetapi satu hal, ada kemiripan di antara kedua negara ini. Islam menjadi sistem nilai dan sekaligus simbol di kedua negara. Fakta lainnya, Muslim di Maroko dan Indonesia sama-sama penduduk mayoritas.

Perbedaannya, fiqih yang dipraktikkan di Maroko adalah Madzhab Maliki. Sementara di Indonesia, sebagaimana Muslim di Asia Tenggara pada umumnya, mengikuti Madzhab Syafii. Hal-hal menarik inilah yang mungkin menjadikan Geertz melakukan perbandingan tentang Islam di Maroko dan Indonesia.

Dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia, juga terdapat jejak Maroko. Meskipun terdapat perbedaan versi di kalangan sejarawan tentang siapa sejatinya Syekh Maulana Maghribi, tetapi terdapat keyakinan bahwa salah satu tokoh penyebar Islam di Tanah Jawa itu berasal dari Maroko.

Ada yang menyebut bahwa Maulana Maghribi datang ke tanah Jawa pada abad ke-15 atau sekitar tahun 1400-an. Ia disebut sebagai anggota Dewan Walisongo angkatan pertama. Tak hanya menyebarkan Islam, Maulana Maghribi juga dianggap sebagai tokoh yang menurunkan raja-raja Jawa, khususnya di Mataram. Jika data-data sejarah ini benar, maka sebenarnya antara Nusantara dan Maroko telah terbangun kontak ideologi dan intelektual sejak masa yang cukup lama.

Di era modern, hubungan intelektual itu tetap terjadi, meskipun dengan mode yang berbeda. Jika pada masa lalu, tokoh dari Maghrib datang secara langsung ke Nusantara, pemikir-pemikir Maroko modern dikenal karena karya-karya mereka. Pada gilirannya, mereka kemudian banyak memberikan pengaruh pada dinamika pemikiran Islam di Indonesia. Beberapa nama seperti Muhammad Abid al-Jabri, Malik Benabi, Ahmad Raisuni, dan Fatima Mernissi, begitu populer di lingkaran-lingkaran kajian Islam di Indonesia. Abid al-Jabri bahkan memberikan pengaruh yang cukup mendalam pada dinamika dan reformulasi pemikiran Islam di Muhammadiyah melalui pemikirannya yang ditransmisikan oleh Amin Abdullah.

Dengan fakta-fakta ini, wajarlah jika Indonesia dan Maroko sering dipersandingkan. Kemiripan dan kedekatan itu mungkin tidak hanya dirasakan oleh Geertz. Setiap kali saya menyebut Indonesia sebagai negara asal saat berinteraksi dengan berbagai kalangan, ekspresi mereka sangat menyenangkan. “Kami mendengar tentang Indonesia dari para haji. Orang Indonesia sangat baik dan ramah,” kata Khoula, seorang wartawan Maroko yang selalu menyertai kegiatan kami. Bahkan beberapa orang Maroko menyebut Indonesia adalah saudara bagi Maroko. Inilah kejutan ke tiga.

Karena kegiatan demikian padat, saya tidak sempat belanja apa-apa sebagai oleh-oleh. Hanya 1 kilogram kacang almond dan sebotol kecil minyak argan yang saya beli. Namun, ketiga kejutan di atas sungguh merupakan oleh-oleh termahal bagi kunjungan ke Maroko. Marhaba. Merci.

Bandara Casablanca, 5 Juni 2022

(Tulisan ini sudah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur, Edisi Juli 2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *