Sarjana dalam foto ini adalah seorang anak yatim dan dari kekuarga pas-pasan. Angga, namanya. Berasal dari Lamongan, Jawa Timur. Meski seorang anak yatim, ia punya tekad kuat untuk meraih pendidikan tinggi. Saat lulus dari sebuah sekolah menengah di Bangil, Pasuruan; dia merantau ke Malang, mendaftar pada program Beasiswa Yatim/Piatu di Universitas Muhammadiyah Malang. Selama proses pendaftaran, dia tinggal di rumah saya.
Saat itu, saya sedang dalam awal tugas sebagai Asisten Staf Khusus Presiden, sehingga lebih banyak di Jakarta. Saat saya pulang ke Malang, Angga ada di rumah, dan saya tanya tentang hasil seleksinya. “Saya diterima, Pak,” begitu jawabnya. Saya mengucap syukur. Namun segera rasa syukur itu berubah. “Tapi saya diterima di program reguler, Pak.”
Mendengar kabar itu, seketika darah saya seperti berhenti mengalir. Diterima di program reguler, berarti membayar seperti biasa. Padahal Angga ini seorang yatim, yang ibunya seorang buruh tani, ngopeni rupiah demi rupiah untuk menyambung hidup. Maka membayar kuliah reguler adalah sebuah kemustahilan. Tak ada pilihan, Angga pun pamit pulang ke Lamongan. Mulut saya mengiyakan. Tapi sesungguhnya batin remuk redam. Angga yang sudah bertekad bulat meraih pendidikan tinggi, harus pulang karena tidak ada biaya untuk kuliah tanpa beasiswa.
Hati saya tergerak. Saya tahu, Beasiswa Yatim/Piatu UMM bertujuan memberikan kesempatan kepada generasi muda potensial untuk meraih pendidikan tinggi. Beasiswa ini harus tepat sasaran. Angga, saya tahu, sangat layak menerima beasiswa itu. Karena itulah, terus terang, saya lalu melakukan lobi untuk Angga agar dia bisa diterima di Beasiswa Yatim UMM. Alhamdulillah, pada akhirnya Angga diterima, dan saya panggil kembali ke Malang. Proses dimulai dan Angga resmi sebagai mahasiswa.
Beasiswa UMM mencakup SPP selama delapan semester, biaya sumbangan pembangunan, dan (mungkin) biaya registrasi awal. Agar tak perlu bayar kos dan makan sehari-hari, Angga tinggal di rumah saya. Tetapi, tetap saja ada biaya-biaya yang diperlukan. Misalnya untuk buku-buku, fotokopi bahan kuliah, dan lain-lain.
Angga tak tinggal diam. Dia bekerja di sebuah warung di sela waktu kuliahnya. Sayangnya, pemilik warung tidak toleran dan eksploitatif. Angga tak menyerah. Maka saat, Bait al-Hikmah Foundation (BHF) Malang mendirikan kafe literasi, Angga kami minta bekerja paruh waktu di situ.
Jalan lain pun terbuka. Bait al-Hikmah Foundation mendapatkan tawaran kontrak sebagai penyedia tenaga pengajar al-Qur’an di sebuah sekolah. Angga pun kami rekrut, dan tentu dapat sedikit gaji dari kegiatan itu. Tak berhenti sampai di situ, seorang dermawan dari Jakarta, Dewi Armia, namanya, mempercayakan kepada BHF Malang untuk menyalurkan zakatnya. Maka, Angga pun menjadi salah satu penerima manfaat dari zakat itu.
Cerita masih panjang. Namun singkat kata, Angga kini berhasil meraih sarjana di tengah ragam keterbatasan yang melingkupinya. Maka, penyataan bahwa tekad bisa membukakan jalan, bukan hanya perkataan tanpa kenyataan. Cerita Angga adalah buktinya.
UMM, Bait al-Hikmah Foundation dan Ibu Dewi Armia adalah antara lain jalan yang terbuka dari tekad Angga yang membara.
Malang, 2 Oktober 2022
Pradana Boy ZTF