Sebuah berita datang dari Malang. Pradana Boy ZTF, seorang akademisi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sekaligus Direktur Bait al-Hikmah Foundation Malang, baru saja diangkat sebagai fellow pada Islam and Liberty Network (ILN) untuk masa dua tahun (Januari 2023-Desember 2024). Lembaga ini adalah sebuah jaringan global yang mengampanyekan kesesuaian Islam dan masyarakat yang terbuka. Didirikan di Istanbul, Turki pada tahun 2011, ILN adalah lembaga think-thank dengan keanggotaan yang tersebar di berbagai negara dengan penduduk Muslim dalam jumlah signifikan, seperti Bangladesh, Bosnia, India, Indonesia, Iran, Malaysia, Maroko, Pakistan, Tunisia, dan Turki.

Keterlibatan Boy, panggilan akrab Pradana Boy ZTF, dalam ILN bermula dari konferensi internasional di Mardin, Turki, Oktober 2022 silam. Dalam konferensi tersebut, Boy mengemukakan pandangannya tentang gerakan moderasi beragama sebagai metode alternatif untuk deradikalisasi. Boy menyebutnya sebagai pendekatan non-radikal dalam deradikalisasi. Meskipun konferensi telah usai, ternyata komunikasi antara para pembicara di acara tersebut tidak berhenti.

“Setelah konferensi itu berakhir dan saya kembali ke tanah air, saya menulis sebuah artikel reflektif tentang ILN,” kata pria kelahiran Lamongan ini. Tanpa disangka, artikel berjudul A New Hope for Moderation itu menarik minat pengurus ILN. Boy lebih lanjut menuturkan, setelah itulah dia diminta oleh pengurus ILN untuk mengirimkan curriculum vitae. “Saya kirim saja CV, tanpa bertanya untuk apa?”

Dua bulan setelah mengirim CV itu, Boy menerima surat resmi tawaran dan sekaligus pengangkatan sebagai fellow untuk lembaga global tersebut. Ditanya lebih jauh tentang apa sebenarnya posisi fellow itu, Boy menjelaskan bahwa ini adalah sebuah posisi kehormatan bagi seorang sarjana. Pria yang menamatkan studi S-3 di National University of Singapore (NUS) ini menuturkan, “Dilihat dari kacamata politik dan ekonomi, posisi ini mungkin tidak ada maknanya. Tetapi bagi seorang sarjana, menjadi bagian dari jaringan global yang terdiri dari para ilmuwan Muslim kelas dunia seperti ini, adalah sebuah pengakuan dan sekaligus kehormatan.”

Dengan posisi itu, Boy akan memiliki kesempatan untuk memberikan kuliah global tentang berbagai topik seputar Islam, mempromosikan Islam Indonesia di kancah global, tak terkecuali mengusung pemikiran-pemikiran Muhammadiyah dalam berbagai forum internasional yang ia hadiri. “Dalam banyak kesempatan, ketika berbicara tentang country case menyangkut aneka tema tentang Islam, saya tak pernah lupa menyampaikan pengalaman Muhammadiyah,” kata alumnus Australia National University (ANU), Canberra ini.

Keterlibatan Boy di ILN memang bisa mengundang iri orang lain. Namun sebenarnya itu hanyalah salah satu saja dari kiprah Boy di dunia global. Rupanya, Boy selama kurang lebih satu dasawarsa ini aktif dalam berbagai forum internasional yang menjadikannya sangat kerap berkumpul dalam berbagai kegiatan berskala global. Belum lama ini, Boy tergabung dalam sebuah jaringan global yang bernama Global Exchange on Religion and Society (GERIS). Jaringan ini merupakan kumpulan aktivis dialog antaragama dari berbagai agama dan negara di bawah koordinasi sebuah lembaga bernama Particip yang berkedudukan di Jerman. Aktivitas dalam network ini membawanya ke berbagai negara, termasuk Maroko dan menjalin kemitraan dengan aktivis dan sarjana dari berbagai negara.

Tak hanya itu, dalam jangka waktu empat tahun antara 2018-2022, pria yang saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan I Fakultas Agama Islam, UMM ini juga tergabung dalam sebuah konsorsium penelitian global yang bernama GREASE. Anggota konsorsium penelitian yang didanai Uni Eropa adalah para guru besar dan sarjana kenamaan dari berbagai negara di Asia dan Eropa. Di bawah koordinasi European University Institute, Florence, Italia, Boy menjadi ketua tim peneliti Indonesia. Dari keanggotaan di konsorsium ini, Boy telah melahirkan sejumlah karya bersama tim. Salah satu karya itu berjudul Routledge Handbook on the Governance of Religious Diversity yang diterbitkan oleh penerbit terkemuka Routledge di London dan New York. Tak hanya itu, Boy dan timnya juga melahirkan karya-karya lain seputar manajemen keragaman beragama dan isu radikalisme di Indonesia dalam berbagai bentuk seperti laporan penelitian, policy brief atau artikel jurnal. Salah satu artikelnya itu terbit di jurnal Religion, State and Society, sebuah jurnal internasional bergengsi terbitan Inggris.

Kiprah global Boy dalam karya ilmiah ini juga dibuktikan dengan penerbitan salah satu bukunya di Belanda. Buku yang diadaptasi dari studi doktoralnya di National University of Singapore (NUS) tersebut diterbitkan oleh Amsterdam University Press di Belanda. Buku berjudul Fatwa in Indonesia: An Analysis of Dominant Legal Ideas and Mode of Thought of Fatwa-Making Agencies and Their Implications in the Post-New Order Period itu kini menjadi salah satu rujukan penting dalam studi fatwa di Indonesia.

Penerbitan buku ini juga mengantar Boy menjadi bagian dari akademia global. Sangat sering ia mendapatkan kepercayaan untuk me-review artikel-artikel yang akan terbit dalam berbagai jurnal internasional. Di antara sejumlah jurnal yang pernah mengundang Boy sebagai reviewer adalah Ethnicities (terbitan New Zealand), Asian Studies Review (terbitan Australia), Tamaddun (terbitan Malaysia), dan Manusya, Journal of Humanities (terbitan Thailand).

Persinggungan dunia aktivisme dan akademik kadang tidak bisa dipisahkan. Boy juga merasakannya dalam jaringan global lainnya. Pada tahun 2016, ia tergabung dengan King Abdullah bin Abdulaziz Center for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID). Lembaga ini merupakan media dialog antaragama dan antarbudaya yang didirikan oleh Kerajaan Saudi Arabia dan kini berbasis di Lisbon, Portugal. Ada cerita menarik ketika Boy bergabung dengan KAICIID sebagai fellow beberapa tahun lalu itu.

“Saya mendaftar sebagai fellow Asia Tenggara,” kata Boy. Akan tetapi pada suatu hari, Boy menerima panggilan telpon dari kantor pusat KAICIID yang waktu itu ada di Wina, Austria. Dari ujung telepon, sang pemanggil menyebutkan bahwa Boy akan di-upgrade menjadi international fellow, bukan regional fellow, oleh karena menurut KAICIID, kualifikasi Boy terlalu tinggi untuk regional fellow. “Your CV shows you are over-qualified,” demikian sang penelpon menyebut.

Sederet keterlibatan Boy dalam aktivitas global ini menjadikannya menyadari bahwa dunia ini begitu luas dan begitu banyak hal yang harus dipelajari. “Melalui pergaulan global ini, saya menyadari betapa tidak berharganya kita di hadapan dunia yang luas…” Lebih dari itu, dalam berbagai percakapan tentang kiprah globalnya, Boy sering merendah, “Saya lahir di dusun. Saya ini anak dusun. Saya tidak pernah berfikir akan mengalami pergaulan dan kehidupan yang seperti ini. Jika ini sekarang terjadi dalam hidup saya, sebenarnya, semua hanya karena karunia dari Allah semata,” tutur Boy memungkasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *